“Rekah Semara Bapa“
Jelang mentari belia dan bulan lelap ditimang malam
Kau hadir bersama haru biru langit diantara belantara perdu padi
Tatkala mentari mengintip di bahu kokoh gunung
Meluap denyar mata di bawah pijar yang menukik punggung
Aku tahu matamu masih terdampar di pulau kantuk
Dengan jaring pelupuk mata yang menyeret keterasingan mimpi
Meracuh rangah dewana akibat muslihat setan
Yang senantiasa meregang asa kedirianmu
Aku tahu kau masih direnda puing-puing salju menggentar kuduk
Namun ilmu-ilmu tanggungjawab yang tumbuh kekar di sukma
Menghantam otot-otot malas tipu daya setan
Hari-hari kau temani surya hingga merayap kembali dalam pagut pelupuk bumi
Jejak kaki mu menciptakan guratan di atas liat
Menjemput riung padi yang berdansa ria bersama sendalu
Menanti kelahiran butir-butir di rahim kau giring
Peluh terperosok bulir demi bulir meninggalkan kubang
Merebah ruah dibopong rajut kain di tubuhmu
Laiknya penyampai pesan rimpuh badan
Ronta perut kau rayu untuk meletakkan tangis
Kau hunus jerih demi tuntaskan lapar kami
Kemudian jemari ibu menari-nari di punggungmu
Mendongeng kekalapan otot yang meracuh badan
Kobaran semangat tersulut akan senyum di wajah ibu
Segala laranganmu ialah buaian
Segala sungutmu ialah belai kasih
Betapa aku tumbuh dari belai kasih itu tersimpul kado tuhan
Kini getas belulang tersemai di balik kulitmu
Sesudah sengai laiknya benih laun menumbuh
Ototmu tak lagi sanggup mengayun cangkul
Lantaran letih diburu kalap
Ayah… Sekedar menyurat asa tersimpul do’a
Di setiap simpuh tengadah telumpup kepada-nya
Teruntuk membeli bahagia anak dan keluarga
Sebagai obat penawar getas kulit dan tubuhnya
Selamanya setiap degup jantung ku
Yang meluncurkan desir darah
Menguntai rantai ikrar membopong setiap nafas
Hingga belati waktu menghunus
Namun hakikat cintaku tak terhunus
Hingga waktu menghunus belatinya sendiri
Nganjuk, 31 Desember 2015
*) Puisi ini berhasil meraih juara 1 tingkat nasional tahun 2015 dalam event menulis puisi bersama WAW Akademi Menulis Yogyakarta