Istilah ini hampir sama dengan SKS (Sistem Kebut Semalam) ketika mempersiapkan diri untuk belajar sewaktu akan menghadapi ujian. Keduanya memiliki kesamaan pada metode “kebut” dalam melakukan sesuatu karena merasa terhimpit oleh deadline yang telah di ambang pintu. Hanya saja, SKS lebih banyak memusatkan perhatian seseorang secara berlebihan akibat adanya tuntutan untuk segera menerima dan mengelola informasi, sehingga akhirnya otak hanya akan menerima informasi-informasi yang kabur.
Sedangkan the miracle of “kepepet” atau dapat diartikan menjadi keajaiban saat kita “kepepet” (situasi mendesak), lebih banyak dilakukan ketika seseorang menunda pengerjaan (prokrastinasi) tugas-tugas dan menyelesaikannya ketika deadline telah di depan mata.
Ini juga banyak terjadi di kalangan mahasiswa ketika mereka mendapat tugas kuliah dari dosen. Mereka mengira bahwa mereka mendadak cerdas ketika penyelesaian tugas dilakukan di penghujung deadline. Benarkah demikian? ada apa dengan proses kognitif saat memasuki masa kepepet?
Mahasiswa yang menerima tugas dengan jangka waktu pengumpulan yang panjang, menjadikan mereka menunda pengerjaan tugas. Hal ini bisa terjadi akibat dari rasa tidak suka atau keengganan terhadap apa yang mereka anggap basa-basi.
Sedangkan mahasiswa ketika dipaksa mengerjakan tugas yang menurut mereka rumit akan merasa tidak rela. Kondisi ini memicu gangguan emosional seseorang yang akhirnya merasa panik, mudah marah, lelah, sakit kepala, dan malas atau yang biasa disebut dengan neurashtenia.
Emosi dan suasana hati ini berperan terhadap efektivitas pikiran manusia ketika memroses informasi atau mengerjakan tugas kognitif yang lain. Misalnya, ketika mahasiswa merasa telah mengumpulkan niat dalam mengerjakan tugas sesegera mungkin, namun adanya kondisi emosional individu dapat mengalihkan perhatian dan mengganggu konsentrasi, sehingga niatan tersebut berkurang/berubah dan mereka memprotesnya dalam bentuk kelupaan.
Kelupaan ini dimanifestasikan oleh persepsi akan tugas sebagai hukuman atau beban, sehingga terasa lebih cepat dan mudah saat menyelesaikan tugas di waktu-waktu yang terhimpit deadline. Proses kognitif berjalan hanya karena informasi yang telah diketahui segera untuk dituliskan, tanpa mengetahui hasil kerja tersebut adalah benar atau salah. Pikiran cenderung menoleransi kesalahan. Mereka akan mengira telah memperoleh intuisi yang mana ide atau gagasan apapun seketika muncul berdasarkan naluri meski tidak jelas dari mana datangnya. Padahal intuisi hadir tanpa melibatkan pikiran atau pertimbangan yang logis.
Perhatian mereka dipaksa memusat pada topik tugas yang ada dihadapan mereka dengan mengingat dan mengimajinasikan informasi yang sempat diterima. Akan tetapi, proses mengingat informasi bahkan akan terlewatkan lantaran kondisi emosional seseorang yang tengah terganggu. Selain itu, seseorang juga akan melewatkan proses imajeri dalam berpikir untuk membayangkan kembali di dalam pikiran mengenai obyek yang telah dipersepsi. Namun, tetap saja, seseorang yang “kepepet” akan menyalah artikan proses imajinasi kognitif sebagai hadirnya intuisi. Memang benar jika intuisi dapat memudahkan seseorang dalam pengambilan keputusan, akan tetapi, perlu diingat juga bahwa intuisi bisa benar, tetapi bisa juga salah.
Tidak hanya itu, seseorang yang “kepepet” juga tidak akan memiliki waktu untuk melakukan penalaran lebih lanjut pada hasil pekerjaan mereka, karena proses pembentukan konsep ingin segera dilakukan guna mengatasi suatu masalah dan kesulitan yang dihadapi, misalnya dengan mengcopy-paste hasil kerja teman atau mengunduh artikel dari internet, maupun menuliskan sesuatu berdasarkan intuisi fiktif dalam pikiran mereka. Maka, proses pemecahan masalah sebenarnya ada sejak sebelum perhatian mereka terpusat agar segera menuntaskan tugas tepat waktu alias “yang penting tugas beres”
Anggapan mereka tentang kemampuan “ajaib” untuk mampu berpikir sigap dan cepat dalam menyelesaikan tugas di penghujung deadline mungkin menjadi sebuah paradoks, sebab terjadi lompatan proses kognitif menjadi empat proses antara lain; persepsi, perhatian, bahasa, dan pembentukan konsep. Sedangkan proses kognitif pada dasarnya terdiri atas sepuluh proses, antara lain; persepsi, pengambilan pola, perhatian, ingatan, imajery, bahasa, penalaran, pembuatan keputusan, pemecahan masalah, dan pembentukan konsep. Seseorang dengan pola semacam ini akan terlihat jenius atas kemampuan menyelesaikan tugas dalam waktu singkat, sehingga menutupi kemalasan dan gangguan emosional yang sebenarnya ia alami.
Berlainan dengan seseorang yang berupaya menyelesaikan tugas di sela waktu jauh sebelum deadline, mereka akan cenderung memeriksa ulang dan memperbaharui pekerjaan dengan mengkomparasi informasi lama dengan informasi baru atau yang dianggap paling tepat sebagai bentuk dari proses imajery dan penalaran dalam berpikir. Hal ini mungkin akan menyita banyak waktu lebih bahkan hingga mendekati deadline, dibandingkan mengerjakan di penghujung waktu pengumpulan tugas yang hanya sesaat. Sebab proses penalaran dan imajeri akan terus berulang seiring dengan intensitas pemusatan perhatian pada tugas yang tengah dikerjakannya.
Lalu bagaimana yang sesuai dan efisien?
Penerimaan maupun pengeluaran informasi tidak seketika terjadi sistematis, akan tetapi memerlukan kesiapan indra dalam tubuh. Kesiapan ini membutuhkan kondisi emosional yang stabil atau dalam kondisi diri yang rileks dan tidak pada saat seseorang sedang dalam situasi “kepepet”.
Pengerjaan tugas dalam tenggat waktu yang cukup dan adanya kesiapan tubuh mampu membantu proses penalaran dan pemecahan masalah yang lebih optimal. Proses kognitif yang sesuai ini dapat memupuk kemampuan berpikir secara konkrit atau melibatkan konsep konkrit sampai dengan yang lebih tinggi yaitu konsep yang abstrak dan logis.