Fenomena Event Fashion Week: Jalanan Ialah Ruang Aktualisasi yang Bebas Terbatas

Fenomena Event Fashion Week: Jalanan Ialah Ruang Aktualisasi yang Bebas Terbatas

Jalanan menjadi media kolokan suatu kelompok dalam menarik perhatian masyarakat, mulai dari komunitas punk, geng motor, bahkan klitih yang notabene nya merupakan perilaku kejahatan. Kali ini muncul dihadapan masyarakat yang tengah menjadi buah bibir dan menggelepar diberbagai sosial media, muda mudi berbusana sesuai trend masa kini atau yang selama ini disebut dengan OOTD (Outfit Of The Day) menguar di sepanjang jalan Citayam, bergaya dan melenggang ala catwalk melintasi zebracross yang kemudian dikenal sebagai CFW (Citayam Fashion Week).
Pameran ini pada dasarnya mengimitasi pameran busana bergengsi bertaraf internasional, yang mana para model lokal maupun interlokal berjalan menampilkan busana yang dikenakannya di hadapan penonton. Biasanya, pameran ini dilakukan empat kali setiap tahunnya dengan memperkenalkan mode busana terbaru karya desainer papan atas.

Manusia yang bersifat konformis akan menanggapi geliat CFW di penjuru negeri ini dengan turut serta melakukan perilaku tersebut di beberapa kota lainnya, salah satunya di Malang. Beberapa waktu lalu pembangunan jalan Malang Herritage yang telah menjadi tempat tongkrongan para pemuda menjadi ikon baru sebagai pusat pameran fashion kalangan muda.

Terlihat sangat mudah menarik perhatian dengan sekedar gembar-gembor di jalan raya hingga menjadi buah bibir masyarakat, entah menghasilkan penilaian positif atau negatif. Belum lagi aktivitas tersebut nampak didukung oleh pemerintah. Seseorang akan merasa takut untuk ditolak dan ingin serta diakui/didukung sehingga mereka cenderung mencari jalan keluar aman dengan cara konform pada afiliasi komunitas.

Mengapa harus jalanan?

Suatu kelompok membutuhkan dukungan dan pengakuan dari masyarakat luas tanpa syarat, beberapa orang yang mungkin memiliki karakteristik dan kesamaan minat akan cenderung untuk menonjolkan diri melalui minat dan karakter mereka, sehingga mereka bahkan mengharuskan diri untuk menyatu dengan suatu komunitas, baik dari perorangan ke suatu komunitas kecil, maupun komunitas kecil ke komunitas besar. Mereka membutuhkan ruang aktualisasi yang cenderung berkembang. Sedangkan aktualisasi diri tidak cukup menonjolkan diri dalam suatu ruang terbatas misalnya sanggar meski hingga ke beberapa cabang tempat. Kemudian jalanan yang menjadi pusat keramaian akhirnya menjadi pilihan epik sebagai objek demo akan pikiran dan perasaan masyarakat, khususnya remaja yang haus akan upaya dalam menemukan jati diri mereka.

“Jalanan menjadi tempat bebas”. Bagi mereka yang mungkin kehilangan atau bahkan tidak memiliki ruang aktualisasi karena terisolir dari bagian masyarakat, misalnya kaum LGBT, akan menjadikan event pameran fashion ini sebagai sasaran dalam kampanye kecilnya. Jalanan tak ubahnya menjadi panggung tanpa tiket masuk, tanpa pintu, tanpa aturan. Kita tau bahwa jalanan akan terus dipadati oleh masyarakat meski sekedar berkelebat atau henti sejenak, jalanan juga merupakan media massa dalam pertukaran informasi lewat aktivitas masyarakat ketika berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Arus perpindahan masyarakat yang dulu biasanya bagi masyarakat hanya berjalan atau berkendara, kini di era digitalisasi mereka dapat menikmati perjalanan mereka dengan nongkrong sembari berselfie dengan menonjolkan bagian tempat yang terlihat epik, mengunggah konten foto/video mereka ke platform media sosial, dan menciptakan tagar yang dapat mudah diakses pengguna media sosial.

Meski jalanan menjadi tempat bebas, jalanan juga diikat oleh aturan. Adakalanya aktualisasi memerlukan wadah yang cukup namun juga perlu menggunakan langkah yang tepat sesuai norma atau hukum yang berlaku.

Namun, hingga kini masih menjadi teka teki, positifkah event imitasi pameran busana ini? Perilaku ini tampak unik dan kreatif, pameran busana yang mendunia akhirnya dapat dinikmati dan dilakukan di jalan raya, hingga didukung berbagai aktor busana atau selebgram bahkan gubernur dan pemerintah pun turut serta beraksi di atas zebracross sebagaimana yang telah dilakukan para model Citayam Fashion Week.

Kelompok pemuda/i makin bergeser ke jalan memadati kota yang telah sesak, jalanan yang diikat aturan makin tak ber-‘aturan’ bukan lagi tempat yang sesuai fungsinya. Selagi penonton hanya siap tepuk tangan saja, jalanan akan tetap difungsikan sebagaimana mereka yang tidak memiliki tempat sesuai norma dan hukum.

Maksud dan tujuan mereka tanpa sadar bergeser. Fashion Week yang pada dasarnya hanya sebagai sarana untuk demo busana dengan desain yang terbarukan, berbalik menjadi media aktualisasi diri dan menarik perhatian masyarakat dengan kedok menciptakan konten inspirasi busana atau fotografi. Sehingga melakukan berbagai cara hingga ke jalanan dan mengganggu aktivitas pengendara.

Para remaja mencari ruang aktualisasi pada dunia fashion ini sebenarnya sekedar bergaya dengan busana mereka cenderung asal dan tidak wajar. Pengaruh sosial ini dapat menciptakan cara berbusana dan aktivitas kelompok lain yang cenderung menyimpang bilamana tidak diwadahi sebagaimana mestinya. Sadar akan minat para remaja terhadap trend fashion, pemerintah mencoba mengalihkan dengan menawarkan beasiswa sekolah, namun, sayangnya CFW terlalu menguntungkan untuk mereka tinggalkan hanya demi beasiswa sekolah.

Meski begitu, mereka butuh didukung dengan langkah tepat, meski terdapat pihak yang merasa dirugikan seperti para pengguna jalan, mereka termasuk generasi penerus yang juga sulit memperoleh ruang publik. Maka, sebetulnya tak ada salahnya pengajuan HKI dengan melegalkan event tersebut sehingga kelak masih memungkinkan dapat dialihkan dari jalanan ke tempat yang lebih layak dan tidak mengganggu kepentingan pihak lain.

Author Image
Devy Kumalasari

Writer & artist

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *