Seseorang berusaha memunculkan persona mereka di beberapa lingkungan atau di beberapa kelompok yang berbeda. Persona yakni kepribadian yang berusaha dimunculkan dihadapan publik. Demi menciptakan kesan tertentu kepada orang lain, seseorang dapat menampilkan beberapa persona di masing-masing kelompok tertentu dengan menyembunyikan hakikat pribadi yang sesungguhnya.
Persona juga dapat dikaitkan dengan keberagaman penggunaan media sosial, melihat kelebihan dan kelemahan beberapa macam media sosial dapat membentuk pola setiap orang dalam mengekspresikan diri. Sehingga seseorang akan mempertimbangkan media sosial mana yang sesuai untuk mengekspresikan diri.
Kini kehidupan fisik masyarakat hampir sepenuhnya menyatu dengan dunia digital. Keanekaragaman aplikasi media sosial ini tidak dipungkiri dapat memperpanjang waktu untuk bergaul dan mengekspresikan diri di dunia maya sebagai “lingkungan baru” melalui smartphone mereka.
Beragam platform untuk “bersosial” tanpa harus bertatap muka secara langsung mungkin akan mempermudah gelagat atau perilaku yang ditampilkan. Orang-orang yang pada awalnya ingin berbicara, perlu menampakkan gerak tubuh maupun mimik wajah sebagai isyarat, namun kini masyarakat sudah teramat mudah untuk sekedar berbicara, menggerakkan jari mereka pada kolom komentar. Belum lagi dengan banyaknya cara yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan identitas dengan akun-akun palsu atau anonymus, sehingga dengan mudah berperilaku seenaknya. Perilaku tersebut tentunya tidak lepas dari kecenderungan individu untuk memihak atau membebaskan emosi pribadinya pada golongan tertentu.
Fakta-fakta ini dapat dengan mudah kita temukan di kolom komentar, akun-akun anonymus berangkat dengan meninggalkan kesan komentar yang paling ganjil, mereka menggiring fakta dengan menambah informasi yang mungkin tidak ada kaitannya dengan konten para kreator, menebar berita palsu, menyebar aib, mencaci maki dengan menonjolkan golongan tertentu, menambah informasi yang barangkali belum diketahui sebagian masyarakat untuk mengalihkan dan memantik emosi masyarakat, hingga akhirnya mengubah stereotip masyarakat.
Akun anonymus dapat berkembang biak di tiap platform media sosial. Perilaku ini rupanya tak hanya dapat mengubah stereotip masyarakat, namun juga berdampak menimbulkan kecemasan tiap kali mereka menengok smartphone.
Adakalanya, akun-akun media sosial seseorang di beberapa platform dengan identitas asli ialah wajah sosial mereka sebagai tempat bersembunyi dari kepribadian privat. Keengganan menunjukkan identitas asli ini disebabkan oleh kekhawatiran akan pendapat publik tentang kepribadian privat mereka.
Meskipun sekedar dilakukan sebagai pengalih atau pemuas keinginan pribadi, persona di dunia maya banyak menekan karakter atau kepribadian seseorang. Akibatnya, repertoar drama yang dihasilkan dalam dunia maya sebagai wajah sosialnya hanya akan menguras banyak energi, tanpa ada pasokan energi baru untuk menjalankan kehidupan mereka yang sesungguhnya telah penuh drama.
Sudah semestinya kecanggihan teknologi membawa kita terseret untuk turut memanfaatkan media sosial sebagai lingkungan baru dalam berinteraksi. Sehingga tidaklah tabu jika setiap saat kita merasa perlu memperpanjang waktu bermedia sosial. Studi terbaru akhir-akhir ini telah banyak membahas tentang pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental penggunanya. Aktivitas bermedia sosial memuncak terutama sejak munculnya pandemi COVID 19 selama tiga tahun terakhir ini. Hingga kemudian masa pandemi ini berkontribusi pada peningkatan masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, gejala stres, dan perilaku kecanduan berbasis internet. Faktor penyebabnya mungkin beragam, mulai dari masalah kesehatan, sosial, ekonomi dan lainnya. Namun, semua itu pun tidak lepas dari dampak atas berlakunya kebijakan lockdown, karantina wilayah, dan PPKM, yang menjadikan ruang interaksi masyarakat di dunia nyata terbatas. Sehingga masyarakat memilih untuk menggunakan media sosial sebagai pengalih agar tetap berinteraksi dengan orang lain.
Media sosial tidak hanya menawarkan kemudahan akses komunikasi, namun juga akses informasi yang dapat digunakan untuk menampilkan persona masing-masing individu. Misalnya, ketika seseorang merasa gembira atas pencapaiannya, mereka dapat mengekspresikan kegembiraan dengan memposting foto piala atau foto diri, disertai caption “Tuhan Maha Baik” untuk menambah informasi yang menarik bagi pembaca untuk melontarkan pujian. Ketika sedih atau tertekan, seseorang bisa dengan mudah memposting foto-foto atau kalimat-kalimat nahas. Hal-hal semacam ini amat menarik perhatian orang lain dengan bebas berkomentar yang bersifat mendukung atau bahkan mencaci.
Bagi sebagian orang, komentar cacian dapat menambah tekanan sang kreator. Di sisi lain, banyaknya komentar yang bersifat mendukung akan membentuk stereotip publik bahwa menampilkan dengan cara tersebut ternyata dapat menarik pengakuan atau perhatian publik, sehingga bukan hal yang pelik jika mereka kemudian berusaha untuk melakukan hal sama sebagai strategi dalam meraih perhatian publik. Bukankah ini menjadi tuntutan baru untuk menampilkan persona sesuai harapan orang lain? Sedangkan mereka akhirnya menjadi manusia palsu, sekedar pantulan wajah masyarakat.
Bermula sebagai tempat pengalihan diri terhadap emosi negatif dan masalah mental, penggunaan media sosial bertendensi memunculkan emosi negatif, kecemasan, stress, dan depresi.
Media sosial yang mulanya membantu memperkenalkan masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental, akhirnya menciptakan keprihatinan masyarakat. Bagaimana jika hal ini akhirnya hanya digunakan oleh sebagian orang sebagai alat untuk pemuas dalam menarik perhatian publik? Dengan menampilkan situasi dan kondisi yang memprihatinkan bagi publik, berswafoto di tempat-tempat indah dengan kedok “healing” yang dalam artian proses pengobatan stres diri, meski secara harfiah sekedar untuk pengalihan.
Mengapa harus di dunia maya? Mengapa tidak di dunia nyata?
Keprihatinan masyarakat terhadap gangguan mental yang marak di media sosial tidak menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, sama seperti sebelumnya, yang hanya prihatin tanpa peduli langkah apa yang bisa mereka semua lakukan. Definisi keprihatinan disini terbatas pada kalimat dukungan dan caci maki yang dikirim dalam kolom-kolom komentar di media sosial, kemudian saling adu kalimat negatif, stres, kemudian memunculkan persona kembali untuk meraih pengakuan dan perhatian publik. Sedangkan kegiatan tersebut tak mengubah apapun di dunia nyata, namun malah lebih memperburuk kondisi mental.
Kesadaran akan kesehatan mental seharusnya tepat sasaran. Bukan hanya dengan melihat akun seseorang yang memposting kondisi pribadi yang tengah stres, kemudian tertarik untuk menunjukkan tekanan pribadinya pula. Meski sebelumnya merasa baik-baik saja, post tersebut memantik seseorang untuk mengkomparasi dengan pengalaman mereka pribadi, hingga akhirnya dapat membentuk pikiran untuk mengimitasi perilaku tersebut dengan memposting pengalaman pribadinya sebagaimana yang dilakukan orang lain di media sosial. Sedangkan resiliensi atau koping stres yang pernah dilakukan sebelumnya tidak lagi dihiraukan.
Kesadaran akan kesehatan mental dimulai dari diri kita sendiri. Sehatlah bermedia sosial, sehatlah membagi waktu berinteraksi di dunia nyata dan dunia maya secara seimbang. Jadikanlah persona sebagai survival untuk membantu diri mengontrol perasaan, pikiran, dan perilaku.
Poliferasi platform media sosial akhirnya menggeser nilai-nilai dalam masyarakat untuk berkompetisi demi mengumpulkan perhatian publik, dengan meningkatkan jumlah like, hingga followers.
DK.
Kini, generasi mendatang tidak banyak mengidolakan para ilmuwan atau para pemimpin yang jujur, namun idola mereka banyak seputar tokoh-tokoh penghibur yang mengais jumlah followers.