Liburan semester genap merupakan saat dimana para mahasiswa turun ke masyarakat, yang biasanya disebut juga kembali ke desa – ini mungkin karena rerata perguruan tinggi ada di pusat pemerintahan. Perguruan tinggi sebagai menara gading pengetahuan memang perlu mengimplementasikan pengetahuan dari buku dan dosen kepada masyarakat. Lintas keilmuan dan program studi memungkinkan di lapangan kuliah kerja nyata untuk mendapatkan beragam potensi yang dapat ditingkatkan kapasitas-nya melalui kegiatan atau program KKN. Pertanyaan besarnya, bagaimana program KKN mampu merealisasikan yang tadinya sebagai potensi menjadi implementasi bagi desa atau masyarakat sasaran KKN?
Desa dan masyarakatnya memiliki segudang potensi dan mimpi menjadi sejahtera, bahkan saat peserta KKN untuk pertama kalinya datang, segudang potensi akan disampaikan secara gamblang pamong/aparatur maupun tokoh masyarakat desa. Namun, tentu tidak semua akan dapat dijadikan program kerja KKN, belum lagi jika terdapat intrik dan konflik di desa yang cenderung seperti “api dalam sekam”. Satu bulan kurang lebih waktu melaksanakan kegiatan KKN, adalah waktu yang singkat untuk merealisasikan mimpi atas potensi desa yang mungkin dikembangkan. Waktu dan keterbatasan dalam pemetaan program yang tepat inilah yang menjadikan program KKN perguruan tinggi lebih pada ke arah program karitas (charity) dan meninggalkan tulisan “KKN PT. A 1999 Desa Antah Barantah” pada paket karitas yang di tinggalkan. Program lain yang umum juga adalah model pelatihan pengolahan (misalnya: produk pertanian, tata kelola organisasi, dll), namun abai pada bagaimana mindset berfikir seluruh stakeholder untuk sinergi dari hulu sampai hilir.
Saya, beberapa kali menjadi DPL KKN juga kerap mencium kegagalan program KKN di desa potensial karena bias pemikiran tentang KKN antara sisi stakeholder KKN dan masyarakat sasaran. Pelaku pengabdian KKN melihat potensi desa secara parsial atau masyarakat yang dapat dikembangkan, lalu dijadikan program pelatihan dan semisalnya yang kadang menafikan kemampuan masyarakat yang memang telah ada. Konflik kepentingan antara stakeholder di desa juga perlu menjadi faktor sukses dalam merealisasikan mimpi dan implementasi saat menyentuh potensi desa yang ada.
Pendulum kegiatan pengabdian masyarakat dalam program KKN bergerak antara pendulum idealnya pengabdian masyarakat dan panjat sosial bagi pelaksana atau pelaku KKN. Alih-alih memberdayakan masyarakat, yang terjadi malah menumpang status dari yang telah sukses dilakukan masyarakat. Dari sini, perlu kiranya menakar kembali peran mahasiswa KKN dan DPL-nya saat kembali ke desa melaksanakan pengabdian.
Mimpi Masyarakat Desa: Kontraktor dan Konsultan
Dalam merealisasikan potensi desa untuk berkembang, mimpi masyarakat desa adalah segudang potensi yang dapat dibagi menjadi milik bersama. Mimpi dan potensi yang malang melintang dalam pikiran masyarakat menjadi seperangkat gagasan yang harus dituangkan dalam konsep bersama dengan pamong/aparatur desa sebagai pamong dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder desa yang mungkin menyentuh sektor hulu sampai ke hilir. Logikanya, bagaimana kita hanya berbicara membuat keripik talas tanpa juga membicarakan siapa yang menjual, lalu dijual kemana?. Mimpi potensi olahan keripik talas tidak cukup hanya membuat dan mengemas olahan talas, perlu sektor lain yang perlu di sinergi-kan.
Keripik talas adalah potensi desa, lalu bagaimana merealisasikan-nya?, perlu dilakukan pemetaan dan analisa menyeluruh tentang peluang dan tantangan, siapa saja yang bisa terlibat, bagaimana bentuk keterlibatan-nya dan seterusnya. Memprasastikan mimpi sebagai konsep yang tertulis bukanlah untuk menjamin sukses-nya mimpi, namun perlu dipahami bahwa konsep yang terukur berguna untuk meminimalkan kegagalan. Peserta KKN dengan konsepsi pengetahuan yang terukur, semestinya berperan sebagai konsultan, melakukan proses pemetaan dari banyak aspek melibatkan stakeholder dan kontraktor pelaksana, menyusun konsep dan saran pengerjaan (realisasi mimpi, mengolah potensi).
Pekerjaan selanjutnya adalah merealisasikan. Konsep yang telah disusun, disepakati menjadi acuan kerja bersama setiap stakeholder yang terlibat dalam merealisasikan mimpi, dengan seperangkat pedoman teknis pengerjaan dari hasil konsultasi. Pekerjaan dilakukan bersama sesuai pembagian kerja oleh kontraktor yang telah ditetapkan, yang dalam hal ini adalah kelompok-kelompok potensial yang saling terhubung di desa. Semua pelaksana, tunduk pada tugas yang telah jelas pembagian-nya.
IDE-Berkelanjutan – Paradigma Pengabdian Masyarakat
IDE Berkelanjutan hanya sebuah slogan saja, bukan teori atau paradigma dari tokoh akademik sekelas profesor dibidang pengabdian masyarakat, namun bisa jadi memiliki beberapa kemiripan.
Bagi peserta KKN yang bertujuan ke arah pemberdayaan atau empowering, IDE-Berkelanjutan haruslah menjadi nilai dasar sebelum terjun dan melakukan intervensi program. “IDE-Berkelanjutan” merupakan tahapan dari (1) Inspirasi, Inisiatif atau Inisiasi, (2) Diskusi atau Dialog, (3) lalu, Eksekusi. Sedang “Berkelanjutan” adalah nilai untuk terus mengembangkan dengan IDE-IDE-IDE lanjutan. Tahap ke-1 dan ke-2 memungkinkan bagi peserta KKN untuk melaksanakan dengan rangkai program yang terukur.
Menghadirkan potensi dan mimpi masyarakat desa dari data yang diolah dari desa sebagai sumber inspirasi, bisa dalam bentuk buku potensi desa yang disusun secara “apik”, menarik dan lebih enak untuk dibaca berulang-ulang. Selanjutnya, mempertemukan stakeholder masyarakat desa dan mendiskusikan hasil yang diperoleh pada tahap pertama, bersama mendesain proses merealisasikan potensi dan mimpi dalam bentuk sistem dan acuan kerja bersama. Inspirasi dan acuan kerja dari proses diskusi ini dapat mahasiswa lakukan dengan mempertemukan lintas stakeholder dalam kegiatan FGD bersama -tanpa perlu menonjolkan salah satu dari stakeholder. Hal ini memungkinkan urun ide, gagasan yang selama ini mungkin buntu karena “ego” sektoral tiap stakeholder. Eksekusi kesepakatan untuk merealisasikan potensi sudah menjadi milik dan kesempatan masyarakat sesuai dengan hasil dan kesepakatan diskusi.
Pada akhirnya dalam kegiatan KKN yang berlangsung dengan waktu sekitar 1 bulan, kita cukup-kan dengan peran yang mungkin, yaitu memaparkan yang kita temukan sebagai bahan untuk mereka berdiskusi bersama, membantu menyusun dan mencatatkan diskusi mereka dengan ragam potensi yang mereka miliki, dan dengan nalar yang terukur sebagaimana tradisi akademik perguruan tinggi mewariskan buku acuan dalam merealisasikan mimpi itu. Disebut apa kita jika yang kita lakukan demikian?, “Assembler” mungkin. Jadi, kita yang dari perguruan tinggi ketika kembali ke desa adalah TUKANG dengan spesialisasi tertentu.